When I See You #3


PicsArt_06-28-09.47.51

Kris Wu & OC || Romance || PG

Irnacho, © 2016

***

Kris tiba di kantornya ketika waktu menunjukan pukul 9 pagi. Taeri segera bangkit dari kursinya saat melihat Kris yang berjalan ke arahnya. Menampilkan senyumnya gadis itu menyapa atasannya seperti pagi-pagi sebelumnya. “Selamat pagi.”

“Pagi, Kim Taeri.” Balas Kris. “Tolong kopiku, ya.” Ucapnya sebelum menghilang di balik pintu ruangannya.

Delapan menit kemudian pintu ruangannya di ketuk dari luar. Lalu Taeri masuk dengan secangkir kopi yang mengepulkan asap di atasnya. Dia meletakan kopi itu di atas meja Kris dengan hati-hati.

“Apa jadwalku hari ini.” Tanya Kris sambil mengecek beberapa berkas di mejanya.

“Jam 10 anda ada rapat dengan para pemegang saham untuk mendiskusikan proyek baru. Lalu setelah jam makan siang, anda akan ada pertemuan dengan Mr. Lu untuk membicarakan perkembangan resort baru yang ada di Beijing.”

“Hanya itu?”

Taeri mengangguk. “Ya, Kris … eum, Mr. Wu maksudku.”

Kris terkekeh mendengar keraguan Taeri dalam memanggilnya. “Kau bisa tetap memanggilku Kris di kantor. Kecuali saat di depan klien.”

“Aku mengerti.” Ucapnya tersenyum. “Kalau begitu aku permisi.” Dia pun membungkuk lalu berbalik untuk keluar dari ruangan besar itu.

Tepat jam sepuluh kurang lima menit Taeri kembali mengetuk pintu ruangan Kris dan menyembulkan kepalanya setelah mendengar perintah masuk dari dalam.

“Kris, rapat akan segera di mulai. Semuanya sudah menunggumu.”

 “Katakan aku akan segera kesana.”

“Oke.”

Kris segera merapihkan mejanya dan memakai jasnya. Kemudian dia bangkit dari kursi kebesarannya dan melangkah ke luar ruangan. “Taeri, jika Lu Han menelepon katakan untuk datang jam dua saja.”

Taeri mengangguk mengerti dan mengatakan “baik” sebelum Kris berlalu menuju ruang rapat.

***

Rapat berakhir hampir dua jam lamanya dan berjalan dengan lancar. Yang menghasilkan kesimpulan jika mereka akan segera memulai proyek baru mereka dalam beberapa bulan kedepan. Kris berdiri dari bangkunya, menyalami beberapa rekan bisnisnya serta para pemegang saham yang hadir sebelum mereka benar-benar keluar dari ruangan.

“Saya harap proyek kali ini akan berhasil seperti proyek-proyek sebelumnya yang anda jalankan, Mr. Wu.” Ucap salah seorang lelaki pria paruh baya.

“Saya akan melakukan yang terbaik,” Janji Kris.

“Tentu-tentu. Saya percaya anda bisa melakukannya. Kalau begitu, selamat siang, Mr. Wu.” Tepukan pelan di bahunya menjadi salam perpisahan mereka sebelum lelaki itu meninggalkan Kris untuk menuju pintu keluar.

Kris melirik jam tangannya. Sudah masuk waktunya makan siang. Dia pun berlalu dari tempatnya dan melangkah menuju ruangannya. Taeri masih di mejanya tengah mengerjakan sesuatu. Sepertinya gadis itu tidak menyadari kedatangan Kris. Hingga suara dehemannya menyadarkan gadis itu, membuatnya mendongak lalu berdiri dari kursinya.

“Lu Han sudah menelepon?”

“Sudah. Aku juga sudah menyampaikan pesanmu padanya. Dan dia bilang kemungkinan dia akan datang telat beberapa menit karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.’

Kris mengangguk mengerti. “Oke.” Katanya. Dia pun berlalu dari hadapan Taeri dan menghilang di balik pintu ruangannya.

Pesawat telepon dimejanya berdering ketika dia baru saja menjatuhkan tubuhnya di atas kursi.

“Taeri, ke ruanganku sekarang!” Kris langsung menyerukan perintahnya tanpa menunggu sekretarisnya itu mengatakan ‘hallo’. Kemudian di tutup begitu saja.

“Apa semua atasan selalu seenaknya seperti ini?” Gerutunya. Kemudian dia menggendikan bahunya dan meletakan gagang telepon itu sebelum memenuhi permintaan atasannya. Padahal baru saja dia ingin istirahat untuk makan.

Taeri mengetuk pintu itu dua kali sebelum membukanya. Kris tengah berdiri membelakangi pintu, menghadap ke dinding berlapis kaca yang menampilkan pemandangan kesibukan kota Seoul di siang hari. Dengan ponsel masih berada telinga, dia berbalik. Tangannya menunjuk deretan sofa yang berada di tengah ruangan, menyuruh Taeri untuk duduk.

“ … ya, lantai dua puluh lima. Tolong cepat! Terima kasih.” Kris mengakhiri teleponnya dan berjalan menghampiri Taeri untuk duduk di samping gadis itu. “Kau sudah makan siang?” Tanyanya.

“Aku baru mau ke kafetaria saat kau menelepon dan memintaku ke sini.”

“Kalau begitu pas sekali. Temani aku makan siang, aku baru memesan makanan dari restoran cepat saji di depan kantor. Tidak apa‘kan menunggu sebentar?”

“Sebenarnya aku bisa makan di kafetaria saja. Aku tidak enak jika ada karyawan lain yang melihat. Mereka bisa berpikir jika ada perlakuan berbeda antara aku dan karyawan yang lain.”

“Kau lupa jika di lantai ini hanya ada ruanganku dan beberapa direksi yang memiliki jabatan tinggi? Bahkan Office Boy dan Cleaning Service pun jarang datang ke lantai ini jika bukan jam tugas mereka atau ada yang memanggil. Lagi pula jika memang ada yang melihat biarkan saja. Kau sekretarisku, jadi sudah sewajarnya jika sesekali kau makan siang denganku.” Jelas Kris santai.

Meskipun sedikit tidak setuju dengan argumen pria itu, Taeri memilih diam kali ini. Tidak memiliki kalimat untuk membantah.

Mereka menggunakan waktu untuk menunggu makanan sampai sambil mengobrol santai. Hitung-hitung mencari peruntungan, siapa tahu Kris bisa mendapatkan informasi lebih banyak tentang Taeri dari gadis itu sendiri. Mungkin saja dia akan menemukan jawaban untuk kegundahannya selama ini.

“Ku dengar Ayahmu memiliki usaha. Kenapa bekerja di tempat lain? Kenapa tidak mencoba membantu Ayahmu di perusahaannya?”

“Hanya ingin mandiri saja dan mencari pengalaman sebelum aku benar-benar mangambil alih perusahan Ayah setelah dia pensiun nanti.”

Kris mengangguk mengerti. “Lalu sebelumnya kau bekerja dimana?”

“Di salah satu perusahaan periklanan. Selama…” Taeri tampak berpikir. “…sekitar lima bulan sebelum akhirnya aku mendapat panggilan disini.”

“Lima bulan?” Ulang Kris. Taeri mengangguk membenarkan. “Sebelum itu kau bekerja di perusahaan lain?”

“Tidak. Pengalaman kerjaku hanya satu kali. Sesuai apa yang aku tulis di surat lamaran.”

“Kalau begitu apa yang kau lakukan setelah lulus? Yang ku bawa di surat lamaranmu, kau lulus dua tahun yang lalu. Apa kau membantu Ayahmu di perusahaannya?” Kali ini Taeri menggeleng dan menunduk menyembunyikan raut sedih di wajahnya.

“Dulu aku tidak sesehat ini. Hidupku di habiskan di rumah sakit.”

“Kau pernah sakit?” Kris sedikit terkejut dengan berita baru yang di terimanya itu. Sakit apa yang membuatnya sampai harus menghabiskan waktu dua tahun berada di rumah sakit.

“Aku terlahir tidak dalam keadaan normal. Sudah sejak lahir jantungku lemah.” Jelas Taeri kemudian. Dan kali ini Kris benar-benar terkejut.

“Sungguh?” Hanya itu yang mampu dia keluarkan. Ya Tuhan, masa remajanya pasti sangat sulit. Di saat remaja yang lain bermain dengan teman-temannya, pergi berjalan-jalan membeli baju dan menghabiskan waktu di café sambil mengobrol, dia harus melawan penyakitnya di atas tempat tidur rumah sakit.

“Lalu bagaimana dengan sekarang?” Kris bertanya dengan hati-hati.

Taeri tersenyum, “kau bisa lihat sekarang. Aku sudah sembuh. Setahun yang lalu aku mendapatkan donor jantung.”

Kris tidak bisa tidak membalas senyum itu. Tangannya terangkat untuk mengelus kepala Taeri. “Kau pasti telah melewati banyak hari yang begitu berat. Syukurlah sekarang kau baik-baik saja. Aku senang mendengarnya.” Ucap Kris dengan tulus. Perlakuannya tanpa dia sadari mampu membuat wajah Taeri memanas. Oh, degupan ini lagi. Batinnya.

Apa yang dirasakan Taeri ternyata dirasakan pula oleh Kris. Detakan jantungnya yang selalu membuatnya merasa nyaman. Dan dia mulai berpikir jika sesuatu memang telah terjadi. Namun dia tidak mau membayangkannya. Semoga saja apa yang di pikirkannya salah.

“Apa kau memiliki seorang teman dekat?” Tanya Kris lagi, Dan Taeri menggeleng. “Satu pun?” Di jawab dengan anggukan oleh Taeri.

“Sejak kecil aku hanya berputar-putar di dalam rumah dan lingkungan rumah sakit. Bahkan aku tidak sekolah di sekolahan umum. Aku Home Schooling. Ayah dan Ibu tidak mengijinkannya, mereka bilang mereka khawatir terjadi sesuatu padaku dan mereka tidak ada di dekatku. Karena pernah ketika aku berumur tujuh tahun aku pingsan saat sedang bermain dengan tetanggaku yang menjadi satu-satunya teman yang pernah ku miliki. Saat itu kami sedang bermain di taman komplek perumahan. Lalu aku tiba-tiba pingsan karena kelelahan. Ibu bilang aku hampir kehilangan nyawaku karena terlambat di bawa ke rumah sakit. Sejak saat itu baik Ibu maupun Ayah tidak pernah mengijinkanku keluar rumah jika tidak bersama mereka.” Taeri menarik napasnya. Tersenyum sedih jika mengingat bagaimana kehidupannya dulu.

“Satu-satunya teman yang ku punya hanya para perawat dan dokter di rumah sakit. Mungkin lebih tepatnya seperti orang tua kedua di banding di sebut dengan teman.” Taeri menghela napasnya dengan berat. “Dulu setiap melihat anak-anak yang berlari bersama teman-temannya, bercanda, tertawa, aku merasa begitu iri. Mereka terlihat begitu bebas, bisa melakukan apapun yang mereka mau. Aku juga ingin pergi ke Lotte World bersama orang tuaku sesekali. Makan permen kapas dan sebagainya. Tapi Ibu bilang semua permainan disana berbahaya untukku. Lalu ketika remaja, aku iri melihat anak-anak perempuan yang jalan bersama teman-temannya. Menghabiskan waktu berjalan-jalan di pusat kota atau mengobrol santai di kafe-kafe. Bukan kantin rumah sakit.” Taeri menyeka air mata yang tiba-tiba jatuh ke pipinya.

Tidak tahan melihat gadis di depannya ini menitikan air mata, Kris menariknya, membiarkan gadis itu menangis di dadanya. Tangannya bergerak mengelus rambut Taeri dengan lembut.

“Jangan di ingat lagi jika itu hanya membuatmu sedih. Maaf, seharusnya aku tidak bertanya.”

“Bukan salahmu.” Kata Taeri sambil menghapus sisa-sisa air matanya.

“Kau ingin kemana? Aku akan menemanimu. Aku akan menjadi teman pertamamu. Kau ingin pergi ke Lotte World? Kita bisa pergi akhir pekan nanti.”

“Sungguh?” Taeri mendongakan kepalanya untuk menatap Kris dengan bekas-bekas air mata yang masih tersisa. Membuat Kris tidak tahan untuk menyentuhkan jarinya di wajah wanita itu dan menghapus jejak air matanya yang tertinggal.

“Tapi dengan satu syarat.” Katanya.

Taeri mengerutkan keningnya. “Apa?”

“Ini terakhir kalinya aku melihatmu menangis. Bagaimana? Bisa di turuti?”

Dan senyum itu terbit di wajah Taeri. Senyum yang cukup mampu membuat dada Kris sesak untuk beberapa saat dan membuatnya harus mati-matian menahan dorongan untuk mengecup bibir di depannya.

Taeri mengangguk dengan semangat. “Bagus.” Ucapnya ikut tersenyum. Kemudian kembali menenggalamkan kepala itu di dadanya. Tanpa sadar Kris mengecup puncak kepala Taeri membuat tubuh gadis itu menegang sesaat. “Tuhan sudah memberikanmu kesempatan kedua. Maka jangan sia-siakan kesempatan itu dan hiduplah dengan baik. Kau harus hidup bahagia untuk menggantikan semua kesedihanmu dulu. Mengerti?” Dan Taeri mengangguk dalam dekapan hangat Kris.

***

“Hai, Taeri.” Taeri mendongak ketika seseorang menyebutkan namanya. Lalu mendapati Lu Han sudah berdiri di depan mejanya dengan senyum lebar. Gadis itu tersenyum dan membalas sapaan Lu Han. “Selamat siang, Mr. Lu.”

“Apa Kris ada di ruangannya?”

“Dia sudah menunggu anda sejak tadi.” Ucapnya.

“Oke. Terima kasih.” Lalu lelaki itu pun berlalu dari hadapannya dan menghilang di balik pintu ruangan Kris.

Sepeninggal Lu Han, Taeri berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pantry untuk membuat minuman bagi tamu atasannya tersebut.  Sudah menjadi kebiasaannya menyiapkan minuman untuk tamu-tamu Kris yang datang ke ruangannya. Meski Kris sudah pernah mengatakannya jika dia tidak perlu melakukannya karena itu bisa di lakukan oleh office boy di kantor mereka. Tugasnya hanyalah membantu pekerjaan Kris dan mengatur semua jadwalnya. Tapi dia pikir, hanya membuat minuman apa repotnya? Selama dia bisa melakukannya dan tidak mengganggu pekerjaannya tidak menjadi masalah.

Taeri datang dengan senampan dua cangkir kopi di atasnya. Dia meletakannya di depan dua orang yang tengah mendiskusikan sesuatu.

“Terima kasih, Kim Taeri.” Taeri membalas ucapan terima kasih Lu Han dengan senyum di bibirnya sebelum dia keluar dan membiarkan dua lelaki itu melanjutkan diskusi mereka soal bisnis dan sejenisnya.

Lu Han mengikuti kepergian Taeri dengan matanya hingga pintu tertutup, sebelum kembali menatap Kris. Seolah mengerti arti tatapan sahabatnya itu, Kris membuka suaranya.

“Dia pernah melakukan tranplantasi Jantung, Lu.”

“Apa?” Pertanyaan dengan nada keterkejutan Lu Han hanya di balas dengan anggukan dari Kris. Karena pria itu yakin sahabatnya ini belum tuli.

“Apa mungkin … ?” Ucapan Luhan menggantung. Tampak tidak yakin dengan apa yang akan dia katakan. Namun lagi-lagi seolah Kris bisa membaca pikiran Lu Han, pria itu mengangkat bahunya.

“Entahlah, Lu.”

“Kau sudah menyelidikinya?”

“Sedang ku lakukan.”

Lu Han menghembuskan napasnya. Kemudian menepuk pundak Kris. “Apapun hasilnya nanti, aku mengharapkan yang terbaik untuk kalian berdua.” Kris hanya bisa mengangguk pasrah akan ucapan Lu Han.

“Lalu bagaimana dengan hubungan kalian?” Tanya Lu Han. Mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang. “Sepertinya aku melihat banyak kemajuan yang bagus.”

“Banyak kemajuan bagaimana maksudmu?”

“Tsk. Kau tahu? Aku mendengar beberapa karyawanmu mengatakan jika CEO mereka akhir-akhir ini memiliki mood yang bagus. Membalas sapaan para pegawai dan mulai jarang marah-marah.”

Kris menatap Lu Han jengah. “Aku tidak tahu jika kau mulai bergosip.”

Luhan tergelak di tempatnya. “Tapi benar kan gosip itu? Apa sekretaris itu yang telah berhasil menjianakanmu?” Goda Lu Han.

“Terserah apa katamu sajalah.” Ucapnya malas.

“Lihat-lihat, kau bahkan membalasnya dengan begitu santai. Kau sadar apa yang kau lakukan dulu tiap kali aku menggodamu seperti ini? Kau akan menatap tajam ke arahku dan menjawab dengan nada ketus. Jadi di mana kalimat ketus yang selalu ku dengar itu, Mr. Wu?”

Kris tampak memandang Luhan dengan heran, dia mulai memikirkan sesuatu sebelum raut wajahnya berubah menjadi kebingungan. “Apa benar perubahanku begitu kentara?” Tanyanya dengan muka polos. Dan itu sukses membuat Lu Han tergelak di tempatnya. Membuat Kris mendengus dan melempar tisu ke arah muka sahabatnya dengan sebuah umpatan yang semakin membuat Lu Han tak bisa menghentikan tawa. “Brengsek.”

Setelah puas dengan tawanya, Lu Han menyusut air mata yang sempat keluar dari sudut matanya. Kembali menatap Kris, kali ini dengan wajah yang mencoba untuk serius. “Dengar, Kris. Aku akan mendukung apapun keputusanmu selama itu yang terbaik untukmu. Kau tahu, aku tidak pernah meningalkanmu. Tapi satu nasihatku, jangan sampai kau membuatnya sebagai pengganti apa lagi pelarian. Cintailah dia dengan tulus jika kau memang menginginkannya. Aku tidak tahu apa yang akan kau dapatkan dari penyelidikan ini nanti, tapi ku harap apapun itu, buanglah bayangan Alice dari dirinya jika kau memutuskan untuk bersamanya.”

“Aku tahu apa yang harus aku lakukan, Lu.” Ungkapnya menutup pembicaraan itu.

***

Hari minggu adalah waktunya bagi Taeri untuk bermalas-malasan. Bangun siang, bersantai sampai bosan. Minggu ini dia memilih mendekam di dalam kamarnya untuk menyelesaikan novel barunya yang dia beli beberapa hari lalu. Setelah sarapan yang sedikit telat, dia kembali naik ke atas lantai dua rumahnya dan mengurung dirinya di dalam kamar, menenggelamkan diri dengan cerita romance yang tengah di bacanya sebelum kegiatan itu terganggu dengan ketukan di pintu kamarnya.

Ibunya muncul dari balik pintu. “Sayang, ada tamu untukmu.”

Taeri mengerutkan kening mendengar apa yang barusan Ibunya sampaikan. Tamu untuknya, katanya? Taeri tidak memiliki teman, ingat? Jadi tamu dari mana? Dia juga tidak merasa mengundang siapa pun ke rumahnya. Well, tidak ada yang mengetahui rumahnya juga. Kecuali…

Ibunya seperti mengerti dengan wajah kebingungan putrinya. Maka dia pun kembali bersuara. “Seorang pria tampan.” Ibunya tersenyum sumringah. “Dia bilang, atasanmu di kantor.”

Tepat seperti dugaannya.

Lantas Taeri pun mengangguk. “Aku akan segera turun.” Ujarnya.

Kedatangan Kris di sambut hangat oleh keluarga Kim. Tidak pernah dia kira jika kedua orang tua Taeri begitu ramah. Bukan berarti dia pikir Ayah dan Ibu Taeri adalah orang yang dingin, dia hanya tidak menyangka saja jika mereka akan menyambutnya dengan sehangat ini.

“Ini adalah pertama kali Taeri memiliki tamu. Yah, walaupun Nak Kris bukan temannya melainkan atasannya. Tapi saya senang melihat Taeri setidaknya kini bisa bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya meski itu hanya atasannya di kantor.” Kris sedikit terenyuh dengan ucapan wanita paruh baya di depannya. Kris tidak bisa membayangkan bagaimana kesepiannya gadis itu.

“Saya dengar jika perusahaan anda baru saja memenangkan tender besar untuk tahun ini.” Ayah Taeri membuka obrolan tentang bisnis. Pembicaraan pria. “Dengan umur semuda anda saya benar-benar kagum dengan pencapaian yang telah anda raih, Tuan Wu.”

“Kris saja, Tuan Kim. Saya merasa begitu tua.” Kata Kris dengan sopan. Yang di balas kekehan dari dua orang di depannya. “Apa yang saya dapatkan sekarang berkat kerja dari tim saya yang hebat. Jadi tanpa mereka saya tidak akan bisa seperti sekarang ini.”

“Kau terlalu merendah, Nak.” Ayah Taeri tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Aku tahu bagaimana besarnya pengaruhmu dalam dunia bisnis di Asia. Dan ku dengar kau sedang membangun resort baru di Jeju dan juga Beijing, ya?”

“Ya, benar.” Kris mengangguk dan dia seperti baru mengingat sesuatu. “Kebetulan anda mengingatkan, aku berencana untuk memakai jasa desain interior dari perusahaan anda, Tuan Kim.”

Ayah Taeri menaikan alisnya menatap Kris sedikit tak percaya. Lalu melirik istrinya sebentar sebelum kembali menatap Kris. “Kau yakin ingin memakai jasa dari perusahaan kecil kami?”

“Kali ini anda yang terlalu merendah, Tuan Kim.” Balas Kris masih dengan senyum simpulnya. “Perusahaan anda adalah perusahaan Kontraktor Interior Desaign terbaik di negara ini. Aku sudah banyak mendengar kepuasan para klien yang memakai jasa anda.”

“Kau terlalu melebihkan, Nak.”

“Tidak. Tentu saja, tidak.” Jawab Kris cepat. “Saya mengatakan apa yang saya dengar. Kebetulan sahabat baik saya pernah memakai jasa dari perusahaan anda. Dan dari dialah saya di rekomendasikan untuk datang pada anda. Anda pasti mengenal Lu Han. Pengusaha dari China yang juga tengah membangun cabang perusahaannya di sini.”

“Ah, Lu Han. Ya, aku mengenalnya. Beberapa kali kami memang bekerja sama. Jadi dia sahabatmu?”

“Sahabat dari kami masih di Senior High School lebih tepatnya.” Jawab Kris.

Ayah Taeri hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Kalau begitu dengan senang hati kami akan menerima tawaran kerja sama ini.” Ujarnya. Membuat Kris tersenyum senang. “Kau bisa memulai membicarakan desain apa yang kau inginkan dengan sekretarismu.”

Kris mengerutkan keningnya. Masih belum mengerti. “Kim Taeri?”

Pria paruh baya di depannya mengangguk. “Ya, dia adalah yang terbaik yang di miliki perusahaanku. Biasanya semua idenya di sukai oleh klien-klien ku.”

Satu lagi kejutan yang Kris dapatkan dari gadis itu. Setelah ini kejutan apa lagi yang akan Taeri perlihatkan padanya? Dia pikir saat Taeri bekerja di perusahaan lain dia tidak turut campur tangan dengan perusahaan orang tuanya. Tapi ternyata dirinya salah. Di samping pekerjaannya Taeri masih melaksanakan tugasnya sebagai calon penerus perusahaan keluarganya. Sungguh gadis yang luar biasa.

“Dan aku akan memberikan beberapa potongan harga khusus untukmu.” Kalimat Ayah Taeri kembali menyadarkan Kris dari lamunannya. Kemudian saat sadar apa yang di katakan oleh Tuan Kim, lelaki itu langsung menggeleng.

“Jangan seperti itu, Tuan Kim. Aku akan merasa tidak enak. Biarkan aku membayar penuh seperti yang seharusnya.”

“Tidak perlu khawatir. Anggaplah itu sebagai ucapan terima kasih karena kau telah memperlakukan putriku dengan baik sebagai karyawan di perusahaanmu.”

“Itu sudah seharusnya. Karena Taeri memang karyawan yang baik. Jadi tidak ada alasan perusahaan tidak memperlakukannya dengan baik.” Tepat setelah Kris menyelesaikan kalimatnya Taeri muncul di ujung tangga dengan pakaian santainya. Jauh berbeda jika dia berada di kantor yang mengharuskannya mengenakan kemeja kantoran yang membuatnya tampak lebih dewasa. Taeri yang ada di hadapannya sekarang lebih seperti anak kuliahan yang sedang menikmati liburan semesternya di rumah.

“Kris?” Sapa Taeri.

Gadis itu berjalan dan menghampirinya di ruang tamu. Ayah dan Ibu Taeri berdiri dari sofa yang di dudukinya. Ingin memberikan ruang bagi dua muda mudi ini agar bisa mengobrol dengan sedikit leluasa.

“Kalau begitu kami tinggal, Nak Kris.” Kris ikut berdiri ketika dua orang di depannya ini bangkit. “Aku siap kapan pun untuk memulai kerja sama ini denganmu. Sungguh kehormatan besar bagi perusahaanku, kau tahu? Aku yakin akan semakin banyak perusahaan besar lainnya yang ingin bekerja sama denganku jika mereka tahu dengan siapa aku menjalin kerja sama.”

“Begitu pun denganku, Tuan Kim. Akan merasa terhormat karena perusahaanku di berikan kesempatan untuk bekerja sama dengan perusahaan Kontraktor Interior Desaign paling di minati di negara ini.” Keduanya larut dalam tawa kecil sebelum akhirnya Taeri hadir di tengah meraka. “Jika anda tidak keberatan besok siang saya akan datang ke kantor anda untuk membahas kerja sama ini.”

“Tentu-tentu. Kapan pun kau ingin datang, kantorku selalu terbuka lebar.” Dengan itu pembicaraan tentang bisnis pun selesai dengan kepergian Tuan dan Nyonya Kim.

Taeri menaikan alisnya, menatap kepergian kedua orang tuanya dengan pandangan heran. “Aku mendengar akan ada kerja sama, eh?” Tanyanya setelah dia menghempaskan tubuhnya di sofa depan Kris.

Kris mengangguk. “Benar, nanti akan ku jelaskan.” Ucapnya. “Jadi, apa aku mengganggu waktu liburmu?”

Taeri mengangkat bahunya. “Tidak juga.” Ucapnya santai. “Dan apa yang membawamu tiba-tiba kesini? Apa ada pekerjaan mendadak yang harus ku kerjakan?” Tanyanya penasaran.

“Apa hanya jika ada pekerjaan saja aku boleh berkunjung ke rumahmu, Kim Taeri?”

Taeri buru-buru menggeleng sebelum bosnya ini salah paham. “Bukan begitu maksudku. Hanya sedikit terkejut saja karena kau datang tanpa pemberitahuan dulu.”

“Aku hanya tidak sengaja lewat perumahanmu lalu aku ingat jika kau tinggal di sini jadi ku putuskan untuk mampir.” Jelas Kris. “Apa yang sedang kau lakukan?”

“Tidak ada. Hanya bersantai sambil membaca novel.”

“Ingin menemaniku menghabiskan waktu?” Tawar Kris. “Berjalan-jalan mungkin? Menikmati kopi di sungai Han ku pikir tidak terlalu buruk. Atau kemana pun yang kau mau.” Kris mengangkat bahunya tampak tidak peduli kemana pun mereka akan pergi. “Aku sedang bosan dan tidak ada teman yang bisa menemaniku.”

Taeri tampak berpikir sejenak lalu menganggukan kepalanya. “Ku pikir bukan ide yang buruk.” Ucapnya tersenyum. “Kau ingin berangkat sekarang?”

“Jika kau tidak keberatan.” Ucap Kris.

“Baiklah. Aku akan bersiap sebentar.” Taeri pun berdiri dari duduknya. “Kau ingin minum sesuatu?”

“Boleh. Kau tahu favoritku, kan?”

Taeri memutar bola matanya. “Yeah. Everyday kafein.” Kris hanya mampu terkekeh melihatnya.

Lima menit berselang Taeri kembali dengan secangkir teh mint di tangannya. Bukan kopi yang seharusnya.

Kris mengangkat salah satu alisnya saat Taeri sudah meletakan cangkir teh yang masih mengepul itu di hadapannya. “Tea?

“Tidak baik mengkonsumsi kafein setiap hari. Teh mint bagus untuk tubuhmu. Jadi minum saja.”

Kris terpaku mendengar kalimat yang barusan terlontar dari mulut Taeri. Dengan bersamaan jantungnya yang mulai berdetak memukul-mukul dadanya seperti akhir-akhir ini yang sering terjadi tiap kali Taeri ada di dekatnya.

“Aku minta kau buatkan kopi, Alice. Kenapa kau malah membawakan ku teh?”

“Tidak baik mengkonsumsi kafein setiap hari. Teh mint bagus untuk tubuhmu. Jadi minum saja.”

Kris tersentak ketika bayangan masa lalunya muncul begitu saja tepat di depan matanya. Kemudian pria itu berdiri dan tiba-tiba mencekal lengan Taeri ketika gadis itu baru akan berbalik untuk menuju kamarnya. Di tatapnya Taeri dengan tatapan yang tak mampu Taeri artikan. Ada keraguan, kerinduan serta kesedihan dalam tatapan itu. Taeri tidak mengerti. Kris masih menatapnya sampai Taeri memanggil namanya hingga menyadarkan Kris dari lamunan.

“Kris.”

Matanya mengerjap dan segera melepas pergelangan Taeri yang tak dia sadari telah dia cengkram dengan begitu erat. Jantungnya mulai berdenyut sakit, dan ada tarikan dalam dirinya untuk menarik Taeri ke dalam pelukannya untuk mengobati kerinduan akan seseorang. Tapi dia menahan dirinya untuk tidak bersikap yang akan membuat gadis di depannya ini kebingungan.

“Ada apa Kris?” Taeri seperti menemukan sesuatu yang salah dari pria itu. Tatapannya sedikit tidak fokus dan ada ketegangan di wajahnya.

Kris menggeleng dan menampilkan senyumnya dengan sedikit kaku. “Tidak ada. Hanya ingin mengatakan jangan lama-lama.” Ucapnya sebelum dia kembali duduk.

Taeri mengernyit heran atas jawaban Kris. Tentu saja jawaban dengan apa yang pria itu lakukan beberapa detik tadi sangat bertolak belakang dengan ekspresi wajahnya. Namun Taeri tidak ingin memikirkannya terlalu jauh. Akhirnya dia hanya mengangkat bahunya dan melenggang dari sana untuk menuju kamarnya.

Dalam perjalanan ke kamar, Taeri menyentuh dadanya dimana jantungnya kini kembali berdetak tiba-tiba. Kembali merasa kebingungan karena jantungnya mulai berdetak tanpa alasan jelas.

***

Kris menepikan mobilnya di pinggir Taman Sungai Han. Karena bingung ingin pergi kemana dan terlalu banyak pilihan, pada akhinya mereka memilih Han Gang Park untuk menghabiskan waktu mereka di hari minggu itu.

Kris keluar dari sebuah Coffe Shop dengan dua gelas cup Ice Americano di tangannya. Menghampiri Taeri yang duduk di atas kursi panjang yang menjadi fasilitas taman, Kris menghempaskan tubuhnya di samping Taeri dan menyerahkan salah satu Ice Americano yang dia bawa.

“Terima kasih.” Ucap Taeri setelah menerima kopi pemberian Kris.

“Hari ini lumayan ramai.” Kata Kris sambil menatap sekeliling taman. Banyak yang menghabiskan waktu di sana sama seperti dirinya dan Taeri saat ini. Beberapa dari mereka ada yang hanya sekedar jalan-jalan bersama teman, pasangan atau anjing peliharaan. Beberapa ada juga yang menghabiskan waktu untuk bermain basket di lapangan yang tersedia tidak jauh dari tempat mereka kini duduk.

“Kau sering kesini?” Tanya Kris.

“Dulu, beberapa kali bersama Ibu.”

“Kau masih ternasuk beruntung. Aku hanya dua kali pernah kesini, itu pun di malam hari saat aku baru selesai dengan pekerjaan. Aku jarang memiliki waktu santai seperti ini. Sekali pun ada, biasanya ku habiskan untuk tidur selama berjam-jam.”

“Kau tidak pergi bersama teman-temanmu?”

Kris menyedot minumannya sebelum menjawab. “Teman yang ku punya hanya sebatas teman partner bisnis. Jika teman untuk pergi bersantai seperti yang kau maksud tidak ada. Apa lagi aku bukan warga asli sini. Satu-satunya teman biasa aku menghabiskan waktu hanya Lu Han. Tapi yah, seperti yang kau tahu dia pun sama sibuknya denganku.”

Taeri mengangguk-angguk tanda mengerti. Ternyata menjadi pengusaha sukses, memiliki banyak uang dan bisa mempunyai kekuasaan tidak begitu enak juga. Semua waktumu akan tersita hanya untuk menghitung berapa banyak uang yang masuk dan keluar dari laporan keuanganmu.

Taeri menepuk pundak Kris beberapa kali dengan wajah prihatin yang menurut Kris justru terkesan lucu. “Tidak perlu bersedih. Kita memiliki nasib sama. Yah … walaupun persamaannya hanya sama-sama tidak memiliki teman.”

Kris tidak bisa menahan senyum gelinya. Tangannya terangkat untuk mengacak rambut Taeri. “Kau benar. Maka dari itu mari kita berteman.” Yang di jawab dengan anggukan semangat dari Taeri serta senyum sumringahnya. Membuat Kris semakin tidak bisa melepaskan senyum dari bibirnya. Senyum yang tidak pernah dia berikan pada siapapun.

Pandangan Kris jatuh pada segelintir lelaki yang tengah bermain basket di depan mereka. Membuatnya teringat akan kehidupannya di Kanada dan Hongkong dulu. Tatapannya tidak beralih dari olahraga favoritnya ketika dia kembali membuka suara.

“Kau tahu, dulu aku sangat bercita-cita ingin menjadi pemain basket professional.” Kris bicara tiba-tiba setelah mereka membisu untuk beberapa menit. Membuat perhatian Taeri teralih ke arahnya.

“Sungguh?” Tanyanya. Menatap Kris dengan penuh antusias, menunggunya melanjutkan kembali ceritanya.

Kris mengangguk. “Ibuku tidak menyetujuinya. Tentu yang dia inginkan aku jadi penerus perusahaannya karena aku anak satu-satunya. Kami sempat berdebat saat itu. perdebatan yang cukup serius.” Kris mulai menerawang, mengenang kembali kehidupannya dulu dimana dia masih hidup bersama Ibunya. “Kami sama-sama keras kepala. Aku begitu ingin mewujudkan cita-citaku sedangkan Ibuku ingin aku melanjutkan perusahaannya.”

“Lalu? Akhirnya kau mengalah dan memilih melakukan apa yang diinginkan Ibumu?” Tebaknya. Melihat bagaimana Kris sekarang dia rasa tebakannya memang benar.

Kris menggeleng. “Tentu saja tidak. Menjadi pemain basket adalah satu-satunya impian yang ku punya. Sebelumnya aku tidak pernah menginginkan sesuatu sampai seperti itu. Jelas aku tidak akan mudah menyerah begitu saja.” Kris menarik napasnya sejenak untuk menjeda kalimatnya. “Sampai pada akhirnya aku membuat penawaran dengan Ibuku. Aku selalu mengikuti apapun keinginannya, jadi aku memintanya untuk mengerti dan membiarkan aku melakukan apa yang ku inginkan saat itu. Tapi dia tetap bersikeras dengan keputusannya. Sampai akhirnya aku bilang padanya, aku akan tetap mendaftar untuk masuk ke dalam tim basket nasional di Beijing. Jika aku tidak lolos tes seleksi aku akan menuruti keinginannya, tapi jika aku lolos aku memintanya untuk tetap membiarkanku berada di basket dan jangan halangi mimpiku lagi.”

“Dan dia setuju?”

Kris mengangguk. “Dia setuju. Tapi ternyata takdir berkata lain, aku tidak lolos seleksi dan akhirnya aku menyerah dengan mimpiku.”

“Apa yang membuatmu tidak lolos?”

“Persyaratan untuk tinggiku kurang. Untuk menjadi pemain basket harus memiliki tinggi minimal 190cm. Sedangkan menurut data kedokteran saat itu, tinggi tubuh ku hanya akan mencapai 189cm.”

“Hanya beda 1cm?” Tanya Taeri tak percaya. Kris mengangguki pertanyaan Taeri. “Apa tidak ada dispensasi? Apa artinya 1cm? Perbedaannya pun tidak akan terlihat.”

Kris terkekeh dan mengelus rambut Taeri. “Peraturan tetaplah peraturan, Kim Taeri. Suka tidak suka aku harus menerimanya.”

“Ck. Tidak adil.” Dengus gadis itu. Kris hanya bisa tersenyum lembut mendengar gerutuannya. “Tapi kau masih bermain basket, kan? Maksudku kau masih suka basket, kan?” Tanya Taeri lagi.

“Tentu saja. Basket masih menjadi olahraga favoritku.” Taeri mengangguk dan entah kenapa dia merasa lega mendengarnya.

“Kalau begitu kenapa kau tidak ikut main bersama mereka?” Taeri menunjuk kumpulan laki-laki yang sedang berlari memperebutkan bola berwarna orange tersebut. “Tunjukan padaku kehebatanmu.” Ucapnya.

Kris menatap para pemain basket di depan mereka kemudian melirik ke arah Taeri. Senyumnya terkembang. “Bukan ide buruk ku rasa.” Katanya. “Kau tunggu disini.”

“Aku tidak akan kemanapun.” Ucap Taeri sambil melingkarkan telunjuk dan ibu jarinya. Memberikan Kris keyakinan jika dia memang tidak akan beranjak dari kursinya.

Akhirnya Kris pun berdiri dan mulai berlari kecil ke tengah lapangan. Dia bicara sebentar dengan beberapa pemain basket sebelum akhirnya mendapatkan anggukan kecil dari mereka, di susul satu orang dari mereka berjalan meninggalkan lapangan untuk istirahat di pinggir lapangan yang posisinya di gantikan oleh Kris.

Detik berikutnya Kris sudah bergabung kedalam permainan. Beberapa kali dia mendapatkan bola dan mendriblenya sebelum menembaknya kedalam ring. Taeri cukup kagum dengan keahlian lelaki itu. Ternyata dia tidak bohong soal kemampuannya. Permainan basketnya benar-benar keren. Sudah beberapa kali Kris melakukan tembakan jarak jauh yang membuat timnya terus-terusan mendapatkan three point. Sayang sekali bakatnya ini tidak bisa di kembangkan ke arah yang seharusnya.

Dengan kemeja putih yang tangannya di gulung sampai siku serta celana khaki yang membalut kaki panjangnya, Kris seolah tampak bersinar di tengah-tengah mereka yang memakai pakaian santai. Rambutnya yang berwarna coklat gelap berkilau karena tertimpa sinar matahari. Taeri bahkan baru menyadari jika sejak Kris bergabung dalam permainan basket banyak orang-orang yang menonton di pinggir lapangan. Yang di dominasi doleh para gadis yang tidak bisa mengabaikan ketampanan pria itu. Beberapa dari mereka bahkan mulai mengangkat kamera masing-masing untuk mengambil gambar. Entah itu video atau foto. Taeri harus mengakui jika ketampanan Kris memang luar biasa. Dimana ada dia, tatapan kagum pasti selalu mengikutinya. Tuhan pasti sedang dalam mood yang bagus saat menciptakannya.

Taeri mengingat bagaimana hubungannya dengan Kris akhir-akhir ini. Kris yang awalnya Taeri kira adalah seseorang yang kaku dan dingin ternyata jauh sekali dari bayangannya. Pria itu adalah sesosok yang hangat meski tampak luarnya begitu dingin. Kris tentu masih memiliki sifat, otoriter dan arogan di saat tertentu. Tapi tidak membuat Taeri kehilangan kenyamanan berada di dekatnya.

Namun akhir-akhir ini Taeri merasa takut dengan perasaannya sendiri. Dengan kedekatan mereka ini tidak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti dia akan menyukai Kris. Atau malah sudah? Sungguh, dia takut kedekatan mereka nantinya akan menimbulkan rasa lain di hatinya. Taeri tentu tidak ingin perasaan itu berkembang menjadi perasaan berlebih. Dia tidak berani mengharapkan Kris lebih dari seorang teman. Mereka jelas jauh berbeda, Taeri harus menyadari itu. Dan yang paling penting dia tahu jika ada nama wanita lain di hatinya. Taeri tidak akan pernah lupa bagaimana Kris menggumamkan nama Alice dalam tidurnya waktu itu.

Hampir satu jam Kris larut dalam permainannya dengan beberapa kali ganti pemain untuk menggantikan pemain lain yang ingin istirahat. Hingga akhirnya Kris memutuskan untuk menyudahi permainannya ketika jam sudah menunjukan hampir sore hari.

Kris menghampiri Taeri dengan napas yang terengah dan keringat yang menempel di dahi serta lehernya. Menyerahkan sebotol air mineral dingin yang sengaja Taeri beli sebelum Kris datang. “Minumlah.” Ujarnya.

“Terima kasih.” Kris langsung menenggak air itu hingga isinya tinggal setengah.

Taeri mengeluarkan sekotak tisu dari tasnya lalu menyerahkan ke arah Kris. “Bersihkan keringatmu.” Pintanya. “Kau mau Hot Dog?” Taeri menunjuk sebuah kedai kecil pinggir jalan yang berada di seberang jalan. Di mana terlihat banyak sekali pembeli yang tengah mengantri. “Sepertinya enak. Sejak tadi tidak pernah sepi.” Lanjutnya.

“Boleh. Tapi tunggu sebentar ya. Aku masih lelah.” Jawab Kris. Masih mengatur napasnya agar kembali normal.

“Yasudah kau menyusul saja. Aku akan memesan untuk dua porsi.”

“Taeri…” Panggilannya tak digubris karena gadis itu sudah berlari untuk menyeberang jalan. Membuat Kris hanya bisa mendesah pasrah.

Taeri begitu bersemangat untuk segera sampai di tempat tujuannya hingga dia kurang hati-hati saat menyeberang. Tanpa melihat kiri dan kanan dia menyeberang begitu saja. Sampai suara klakson mobil menyentaknya, di susul teriakan orang-orang sekitar. Taeri membulatkan matanya ketika melihat mobil dari arah kirinya melaju dengan kencang. Dia belum sempat bergerak untuk menghindar ketika tiba-tiba seseorang menariknya ke belakang.

Suara decitan ban yang beradu dengan aspal terdengar begitu memekakan telinga. Taeri bisa mendengar desahan lega dari beberapa orang-orang yang berteriak tadi. Dia masih cukup kaget hingga belum menyadari siapa yang menyelamatkannya tadi. Tubuhnya masih berada dalam dekapan seseorang. Tapi sepertinya Taeri hapal dengan wangi parfum ini. Ketika dia sadar dan pelukan itu terlepas, Taeri menemukan Kris dengan ekspresi wajah tegang. Rahang pria itu mengeras dan tatapannya berubah tajam ketika amarah itu meledak di depan wajahnya.

“Sudah ku bilang tunggu aku! Kenapa kau begitu keras kepala dan pergi sendiri?!! Kau pikir apa yang sedang kau lakukan, Kim Taeri? Tidak bisakah kau menuruti perintahku? Bagaimana jika kau tadi tertabrak, hah??”

Kris murka. Taeri tahu itu. Dia mengeluarkan kemarahannya dengan satu kali tarikan napas. Jujur, ini adalah kali pertama dia melihat kemarahan Kris dan dia tidak berani untuk menatapnya apa lagi menjawabnya. Tapi yang dia bingungkan, kenapa Kris harus sampai semarah itu?

Kris masih menatapnya tajam sampai kemudian seorang pria dari pemilik mobil itu keluar. Lalu dengan lantangnya dia berteriak.

“Hey, jika menyeberang pakai mata.”

Taeri memejamkan matanya mendengar teriakan itu. Rasanya malu sekali. Dia tahu tadi dia sangat ceroboh. Pasti saat ini seluruh orang tengah memperhatikannya.

Taeri merasakan tangan Kris kembali menariknya ke pelukannya. Menenggelamkan wajahnya ke dada bidang lelaki itu. Kemudian Taeri mendengar Kris kembali bersuara. Kali ini lebih keras di banding tadi saat dia memarahinya. Dan Taeri tidak berani membayangkan bagaimana wajah Kris kini jika mendengar dari nadanya yang begitu emosi.

“Kau menyalahi gadisku? Harusnya kau yang pakai mata. Apa kau tidak lihat jika di sini banyak pejalan kaki? Gunakan otakmu! Jika ingin kebut-kebutan pergi saja ke arena balap.”

Taeri bisa mendengar beberapa orang di sekitarnya terkesiap. Sepertinya mereka mulai menyadari siapa Kris. Tidak heran jika banyak yang mengenal Kris. Wajah lelaki itu sudah sering muncul di majalah-majalah serta surat kabar, bahkan televisi, sebagai pria paling di cari di negara ini karena ketampanan serta otak jeniusnya yang kini bisa mendirikan perushaan yang berpengaruh pada pasar bisnis Asia. Tapi ada satu kata Kris yang mengganjal di hatinya. Apa tadi Kris menyebutnya sebagai gadisnya? Kenapa? Atau dia yang salah dengar?

“M-maaf, Tuan. “ Dengan tergagap, pria yang tadi membentak Taeri pun meminta maaf ketika sadar dengan siapa dia berhadapan.

“Pergi sebelum ku panggil polisi dan akan ku pastikan jika licensi mengemudimu di cabut.” Usai mengatakan ancaman itu terdengar suara mobil menderu dan semakin lama semakin menjauh hingga suaranya hilang di telan keramaian.

“Kita pulang.” Ucap Kris dengan nada dingin dan menggandeng tangan Taeri untuk berjalan mengikutinya.

***

Mereka masih berdiam diri di dalam mobil dengan keheningan yang mencekam. Setidaknya bagi Taeri, mengingat bagaimana kemarahan Kris tadi dan sampai saat ini pria itu belum membuka suaranya. Kris sepertinya belum berniat untuk menjalankan mobilnya meskipun dia mengatakan untuk pulang beberapa menit tadi.

Menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobil, sambil memejamkan matanya seolah ada begitu banyak sekali hal yang membebani pikirannya hingga membuatnya lelah. Kris masih tertegun di bangkunya dengan Taeri yang melirik takut-takut ke arahnya.

Apa yang baru saja terjadi seperti menghantam Kris pada kesalahan masa lalunya. Di mana dia gagal melindungi orang yang di cintainya. Melihat bagaiman Taeri hampir saja tertabrak membuat jantung Kris rasanya hampir melompat dari tempatnya. Dan kakinya seolah bergerak sendiri untuk berlari dengan cepat ke arah gadis itu. Bagaimana jika tadi Taeri tertabrak? Oh brengsek, rasa sakit itu kembali menyeruak. Napasnya memburu seiring dengan kepalanya yang berdenyut pening.

“Kris…” Panggil Taeri pelan. Tapi Kris masih bungkam di tempatnya. Sedangkan Taeri tidak memiliki keberanian untuk memanggil kedua kalinya.

Kris menghembuskan napas berat, dan ketika dia membuka matanya pandangan mereka bertemu. Ada sinar kerinduan dalam tatapan Kris yang Taeri tidak mengerti kenapa dia menatapnya seperti itu. Lalu tanpa aba-aba Kris menarik Taeri ke dalam pelukannya. Memeluknya sangat erat seolah tidak peduli apakah orang yang di peluknya bisa bernapas atau tidak. Dia berusaha menyesap sesuatu yang hampir hilang dari dekapannya seperti tengah menyerap energi. Mungkin Taeri memang energi baru bagi Kris. Karena terbukti setelah melakukannya Kris merasa lebih tenang dari sebelumnya.

Dia melepaskan pelukannya kemudian meneliti setiap sudut tubuh Taeri, mencari kemungkinan ada luka dari kejadian tadi.

“Apa ada yang sakit? Katakan padaku dimana kau merasakan sakit, hm? Apa mobil tadi sempat menyerempetmu? Di mana yang sakit? Tunjukan padaku!” Tanya Kris berturut-turut sambil mengecek setiap tubuh Taeri yang terjangkau matanya.

“Aku baik-baik saja, Kris.”

“Jangan katakan baik-baik saja jika kau merasa sakit.” Sentak Kris. Yang membuat Taeri terkejut.

“Kris…”

Kris menghela napasnya. Kembali bertanya namun kini dengan nada yang lebih lembut. “Di mana yang sakit, Kim Taeri? Katakan padaku. Agar kita bisa ke rumah sakit sekarang.”

“Aku sungguh baik-baik saja Kris. Tidak ada luka satu pun. Mobil tadi tidak sempat menabrakku.” Jawab gadis itu akhirnya. Dan Taeri bisa melihat ada kelegaan di balik tatapannya. Kemudian lelaki itu kembali menarik Taeri ke dalam pelukannya. Membuat Taeri lagi-lagi tenggelam dalam dada bidang Kris dan rengkuhan hangat milik lelaki itu.

Taeri menepuk-nepuk punggung Kris pelan, berharap itu bisa membuat pria dalam pelukannya ini sedikit tenang. Taeri tidak tahu kenapa Kris bisa sekhawatir ini, tapi dia tetap berkata, “maaf sudah membuatmu khawatir.”

Kris memejamkan matanya, enggan melepaskan pelukan itu. Dia membuang napas dengan berat sebelum melepaskan pelukan mereka. Lalu di tatapnya Taeri dengan matanya yang kecoklatan.

“Jangan ulangi lagi.”

Taeri hampir tidak mampu menahan senyum gelinya ketika mendengar kalimat Kris. “Memang kau pikir aku mau, hampir tertabrak seperti tadi lagi? Orang bodoh mana yang menginginkan hal itu, Kris?”

Kris berdecak, menatap Taeri jengkel. “Maksudku, jangan buat aku khawatir lagi. Kau tahu, aku hampir mati ketakutan tadi. Jika ku bilang tunggu, maka tunggu. Bagaimana jika mobil tadi… “ Kris memejamkan matanya sejenak, tidak mampu meneruskan kalimat yang ingin dia katakan. “…pokoknya lain kali hati-hati.”

Taeri hanya bisa mengangguk, menyanggupi permintaan Kris. Lagi pula dia tidak ingin melihat lelaki itu terus-terusan khawatir seperti ini. Jadi dia langsung mengangguk untuk mengurangi ketegangan yang Kris rasakan.

Melihat bagaimana kekhawatiran Kris padanya, bolehkan kini dia berharap? Bolehkah dia menganggap jika Kris peduli padanya? Bolehkah dia mulai bermimpi?

Taeri hanya bisa memohon pada Tuhan dalam diam, jika kesempatan itu memang ada untuk dirinya.

tbc

4 thoughts on “When I See You #3

  1. wow, akhirnya muncul juga chapter 3 nya,, udah aku tunggu-tunggu sampai bolak-balik k blognya eonni,,

    apakah ada kumungkinan klau jantung yg d donorkan ke taeri itu milik alice??
    kria khawatir banget yah,
    hub mereka makin deket ja,
    aahhhh,,, udah penasaran dengan kelanjutannya lagi
    di tunggu chaptee selanjutnya

  2. wow, akhirnya di posting juga, udah bolak-balik ke blog ini cuma buat lihat apakah when i see you nya sudah di postinv,,

    apakab ada kemungkinan klau jantung yg di donorkan ke taeri adalah milik alice,,? bisa jadi seperti itu,,
    udah ga sabar deh dengan chapter selanjutnya, semoga ga lama yah,,hehe

  3. ‘kau tahu, aku tdk pernah meninggalkanmu, kris.’
    ditunggu chap 4 nya…,
    ah, Mr galaxyfanfan’shouse jg sangat membantu kan kak,

Leave a comment